Tabayyun


TABAYYUN , yang dalam bahasa Indonesia sehari-hari disepadankan dengan kata ‘klarifikasi’, saat ini kembali menjadi perbicangan hangat. Bukan saja di forum diskusi resmi, tetapi – bahkan – di warung-warung kopi. Sebabnya, antara lain karena adanya sejumlah peristiwa yang diberitakan oleh hampir semua media massa, dan masih memerlukan kejelasan akan kebenarannya. 

Secara bahasa, at-Tabayyun memiliki arti: “mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya.” Sedangkan secara istilah, adalah: “meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya, hingga jelas benar permasalahannya.” At-Tabayyun adalah salah satu dari akhlak mulia, yang bila diamalkan dengan tepat bisa berperan untuk membangun keharmonisan dalam pergaulan. 

Oleh karena itu, pantaslah Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu mengamalkannya dalam menghadapi berita yang disampaikan kepadanya agar tidak menyesal di kemudian hari, sebagaimana firman-Nya: 

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ﴿٦﴾ 

 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Hujurât, [49]: 6) Saat ini, kita sering menonton atraksi kebohongan yang dikemas dengan kata-kata indah, hingga kita terkesima, dan bahkan bukan tidak mungkin menjadi percaya terhadap para pembohong karena kelihaiannya dalam mengemas kata-kata. 

Bahkan, tidak hanya dengan kata, mereka (para pembohong) begitu piawai menampilkan data fiktif-manipulatif untuk menegesankan kebenaran atas kebohongan mereka. Dan akhirnya banyak orang yang terkecoh dengan sejumlah kebohongannya. Akhirnya, bisa jadi yang salah pun terkesan benar, sementara yang benar terkesan salah. Ulama besar dari Universitas Al-Azhar, Kairo, As-Sayyid Sabiq (almarhum) — di dalam bukunya Islâmunâ — menjelaskan bahwa iman dan kebiasaan bohong tidak bisa berkumpul dalam hati seorang mukmin. Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam berwasiat agar umat Islam memiliki sifat jujur dan menjauhi sifat pembohong. 

Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan berdiri kokoh dalam pribadi yang tidak jujur. Kita baca sejarah pribadi besar Nabi Muhammad shallallâhu ’alaihi wa sallam, selama 40 tahun beliau menjadi pribadi yang jujur lebih dulu, hingga digelari al-Amîn (Yang Bisa Dipercaya), baru kemudian diangkat menjadi utusan Allah untuk mengajarkan Islam kepada umat manusia. Berkaitan dengan hal itu (kejujuran dan kebohongan), Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam pernah bersabda: 

 عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا 
 “Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata benar. Sesungguhnya berkata benar mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang selalu berkata benar, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan, jauhilah kebohongan. Sesungguhnya kebohongan mengantarkan kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan ke neraka. 

Seseorang yang biasa berbohong, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (Hadits Riwayat al-Bukhari-Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ‘anhu). Bohong dengan perkataan atau perbuatan merupakan salah satu tanda-tanda nifâq (kemunafikan). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam: 

 آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ “Indikator orang munafiq ada tiga macam. Ketika berbicara ia berbohong; ketika berjanji ia menyalahi janjinya; dan ketika dipercaya ia berkhianat.” (Hadits Riwayat al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu) Islam memandang kebohongan adalah induk dari berbagai dosa dan kerusakan dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang melanda negara kita bermuara pada krisis akhlak. Salah satu bentuk krisis akhlak yang berdampak luas ialah krisis kejujuran. 

Krisis kejujuran menyuburkan praktik korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kebangsaan. Karena kepandaian membohongi dan membuat lingkaran kebohongan, maka sebagian besar perbuatan korupsi, kolusi, suap, dan pungli sulit pembuktiannya. Kebohongan dapat membuat campur-aduknya hal yang haq dan yang bâthil . Sesuatu yang bâthil seolah tampak sebagai kebenaran karena kepandaian membuat rekayasa dan kamuflase (penyamaran). 

 الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا﴿٧٦﴾ 
 “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.”(َQS. An-Nisa [4]:76) Upaya memberantas korupsi, kolusi, suap, dan pungli – misalnya – tidak akan membawa hasil yang berarti tanpa diikuti kejujuran dalam penegakan hukum. Jika mau membersihkan moral birokrasi kita, maka yang pertama harus dilakukan ialah membangun kultur kejujuran, hingga setiap orang merasa malu untuk melakukan kebohongan dalam bentuk apa pun. 

Mari kita tegakkan kejujuran dan berhenti berbohong. Kejujuran tidak cukup sekadar slogan, tetapi harus menjadi karakter dan kultur masyarakat. Sistem pemerintahan yang bersih dan transparan hanya dapat terwujud kalau para pemimpin dan segenap elemen bangsa konsisten dengan prinsip kejujuran. “Katakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. “ Pertempuran antara haq (benar) dan bâthil (salah) memang tak akan pernah berhenti sepanjang mentari masih menyinari bumi. 

Kalau kebenaran memiliki pembela dan pendukung, demikian pula kebatilan, sebagaima dinyatakan oleh Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ dalam QS an-Nisâ’ [4]: 76 di atas. Bahkan, bisa jadi pendukung kebatilan lebih agresif, lebih proaktif dalam menyuarakan dan menampilkan kebatilan. Mereka rela melakukan berbagai manuver dan aksi serta mengeluarkan dana besar untuk menghalangi manusia dari jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam QS al-Anfâl [8]: 36), 

 إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ ۗ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَىٰ جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ﴿٣٦﴾ 
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” Mereka itulah yang termasuk dalam kategori hizb asy-syaithân (komunitas setan), 

Yaitu: satu kelompok manusia yang terus menebarkan virus kemaksiatan dan kemungkaran ke tengah-tengah umat dengan berbagai logika indah dan pemutarbalikan fakta. Sebagaimana pernyataan (firman) Allah dalam QS Al-A’râf [7]: 21-22, 

 وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ﴿٢١﴾فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٢٢﴾ 
 “Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua.” Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: 

“Bukankah aku telah melarang kamu berdua untuk (mendekati) pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” Praktik kemaksiatan dan perilaku asusila yang demikian masif oleh para pendukung kebatilan ini, sudah menjalar ke berbagai pelosok dan daerah. Sejumlah pihak berkolaborasi menumbuhsuburkan budaya yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. 

Akibatnya, banyak yang menjadi korban, mulai dari anak muda belia hingga tua-renta. Tingginya angka prostitusi, perkosaan, hubungan di luar nikah, dan pelecehan seksual menunjukkan hal itu. Satu ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu ’anhu menyatakan: “Satu bangsa nyaris hancur padahal ia kaya (makmur). “Kapan itu terjadi?” tanya seorang di antara mereka. “Ketika perbuatan keji sudah merajalela,” jawab Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu ’anhu. 

Tentu tidak ada yang menginginkan bangsa ini hancur. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan? Seorang mukmin tidak boleh berputus asa dan berpangku tangan ketika menyaksikan kondisi yang ada. Allah berfirman di dalam QS Yûsûf [12]: 87, 
 يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ﴿٨٧﴾ 
 “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” Mukmin juga tidak boleh apatis melihat kondisi saudaranya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ’alaihi wa sallam, 
 مَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، لَيْسَ وَرَاءَ ذَالِكَ مِنَ الإِيْمَانِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ 
 “Siapa pun yang berjuang dengan tangan (kekuasaan dan kekuatan)-nya, ia adalah mukmin. Siapa pun yang berjuang dengan lisannya, ia adalah mukmin. Siapa yang berjuang dengan kalbunya, ia adalah mukmin. Tidak ada lagi iman sesudah itu, meskipun hanya seberat biji sawi.” (Hadis Riwayat Ath-Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu ’anhu). Hanya saja, perjuangan membela kebenaran tersebut tetap harus dilakukan dengan penuh hikmah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallâhu ’alaihi wa salllam. 

Di ketika ’akrobat kebohongan’ telah menjadi komoditas bangsa ini, saatnya kita berhati-hati untuk melakukan tabayun atas semua informasi yang kita terima, sehingga kita tidak terjebak pada pembenaran atas sesuatu yang salah atau sebaliknya, dan bahkan kita kita bisa terjebak pada “fitnah.” Na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Edy Wiratama Saya adalah orang biasa yang suka mempelajari hal-hal baru di seputar internet.

Belum ada Komentar untuk "Tabayyun"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel